Pacu Jalur Kuansing: Nostalgia Perayaan HUT Mantan Kekasih Sultan
Kuansing, Indonesia–Seorang bocah yang masih duduk di Sekolah Dasar (SD), menari-nari di ujung haluan sampan yang relatif berukuran panjang 30-an meter yang melaju dengan kecepatan kira-kira 30 kilometer per jam di Sungai Kuantan.
Di kiri-kanan sang bocah, di Tepian Narosa, beberapa sampan (masyarakat setempat menyebut sebagai “jalur”) lainnya ikut melesat, tak mau kalah.
Itulah iven tradisi tahunan Pacu Jalur di Teluk Kuantan. Perlombaan pacu sampan merupakan budaya tak benda yang menjadi kebanggaan masyarakat Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Provinsi Riau. Yang sudah berlangsung sejak abad 17. Puncak perlombaan biasanya berlangsung di Bulan Agustus setiap tahun.
Ratusan ribu warga maupun wisatawan yang datang dari berbagai tempat, tumpah ruah baik di sisi kiri maupun kanan bantaran sungai, menyaksikan setiap kali diselenggarakan Festival Pacu Jalur, yang masing-masing sampan bermuatan 40-60 orang.
Penonton berdesakan bersorak, berseru dari tribun yang berada di tepian sungai, baik pria maupun wanita segala usia, mendukung jalur yang menjadi idola masing-masing.
Bocah yang meliuk-liuk di ujung depan sampan, mengenakan kostum tradisional, bahkan ada yang mengenakan kaca mata hitam. Fashion (mode) yang merupakan perpaduan antara penampilan konservatif dan modis.
Menari-nari di haluan sampan yang melaju di Sungai Kuantan, generasi muda Indonesia asal Kuansing ini mempertontonkan kepada dunia bagaimana cara menyongsong angin, gelombang dan ombak.
Tradisi pacu jalur Kuansing belakangan kian maju dan menggema. Selain merupakan sudah menjadi budaya masyarakat setempat, juga mendapat dukungan penuh baik dari tokoh masyarakat, budayawan terlebih mulai dari pemerintah kabupaten, provinsi hingga pemerintah pusat, khususnya
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Bukti kemajuan pesat itu bisa dilihat, bagaimana Pacu Jalur bisa lolos dalam Kharisma Event Nusantara (KEN) 2024. Bahkan terpilih sebagai urutan ke-7 dalam Top 10 dari 110 KEN 2024.
Seperti yang disampaikan Bupati Kuansing Suhardiman Amby, jumlah penonton Pacu Jalur bisa rata-rata 400-500 ribu per hari. Lebih banyak tamu yang datang berbanding dengan jumlah penduduk Kuansing yang kira-kira 345.000 jiwa.
Jika dari jumlah penonton itu setiap orang membelanjakan uangnya rata-rata Rp150 ribu, belum termasuk penduduk setempat, maka uang yang beredar cukup signifikan dalam menggairahkan ekonomi usaha kecil-menengah, khususnya yang bergerak di sektor informal.
“Di tahun 2024, penonton video Pacu Jalur merupakan terbanyak untuk tingkat pariwisata se-Indonesia yang ditonton oleh dunia. Views-nya 24,7 juta. Ini langsung disampaikan Menparekraf Sandiaga Uno di Jakarta ketika lounching pariwisata Provinsi Riau,” ujar Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Kuansing Azhar Ali di hadapan rombongan Tim Ekspedisi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Riau ke Kuansing, Jumat (7/6-2024) di Teluk Kuantan. Rombongan berada di Kuansing selama 7-8 Juni 2024.
Festival Pacu Jalur bukan sekadar menang-kalah. Begitu kata Bupati Kuansing Suhardiman Amby, disaksikan rombongan wartawan, Jumat, 7 Juni 2024. “Semangatnya adalah kebersamaan, kekuatan lokal. Tetap pertahankan local wisdom (kearifan lokal-red),” sebutnya, di lain kesempatan.
Nilai-nilai filosofis
Di dalam aktivitas perlombaan pacu jalur selama ini, masing-masing jalur memiliki 3 unsur: Penari (Anak Pancar), Timbo Ruang dan Tukang Onjai.
“Dalam perkembangan zaman, Tukang Tari sudah mulai hilang,” ujar Azhar. Dia menambahkan, sekarang tinggal Tukang Timbo Ruang dan Tukang Onjai. Hanya ada beberapa jalur saja yang memiliki Tukang Tari. Mengapa?
Menurut Azhar, Tukang Tari yang meliuk-liuk di ujung haluan itu akan memengaruhi beban jalur.
Padahal, salah satu daya tarik Pacu Jalur sehingga dikenal di pelbagai belahan dunia melalui Medsos, ya karena adanya aksi Tukang Tari itu tadi. Untuk menyikapi agar unsur tari tetap langgeng, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kuansing kemudian membuat peraturan, yakni Peraturan Bupati Kuansing Nomor 16 Tahun 2023 Tentang Penyelenggaraan Festival Pacu Jalur Tradisional. Pada Bab 1 Ketentuan Umum, Pasal 1 poin (12) dinyatakan: “Tukang tari adalah penari yang berada pada haluan jalur.” Jadi setiap penyelenggaraan Festival Pacu Jalur, ketiga unsur wajib ada, di antaranya Tukang Tari.
Pada kesempatan lain, Darwis, Komentator Pacu Jalur yang cukup kondang, di Teluk Kuantan kepada wartawan menjelaskan nilai-nilai yang terdapat pada tiga unsur tadi.
Mengapa Tukang Tari
harus anak-anak? Ada arti filosofisnya. “Sebenarnya, ada nilai-nilai di dalamnya. Menggambarkan Tukang Tari anak kecil, itulah generasi muda Kuansing yang mampu berdiri di atas terpaan ombak dan gelombang penuh dengan goncangan demi satu cita-cita. Ini nilai-nilai yang terkandung dari leluhur terdahulu,” papar pria yang sudah menjadi Komentator Pacu Jalur selama 32 tahun itu.
Rupa-rupanya, Darwis ingin menyampaikan, bagaimana kawula muda Indonesia asal Kuansing menunjukkan kepada views yang 24,7 juta tadi, mampu menari-nari di atas goncangan ombak dan angin kehidupan demi mencapai satu cita-cita. Generasi muda Kuansing berani menghadapi tantangan kehidupan. “Masa depan satu bangsa terletak di tangan orang-orang berani,” begitu yang pernah dilontarkan mantan Presiden Amerika Serikat, Ronald Reagen.
Lalu, fungsi Timbo Ruang yang posisinya berada di tengah jalur. Darwis membeberkan, Timbo ruang merupakan seorang pemimpin yang mampu memberi semangat dan mengayomi masyarakat. “Jadi, anak jalur yang jumlahnya 60 orang, dikomandoi Timbo Ruang,” jelasnya.
Sedangkan di bagian belakang jalur, ada Tukang Onjai.
Kadis Pariwisata dan Kebudayaan Kuansing Azhar Ali menyebut, Tukang Onjai memberi komando, ke mana arah jalur. Dia hanya memberikan aba-aba: Kiri! Lurus! Kanan! Begitu seterusnya. Apa yang disebutkan Azhar, ini mirip-mirip orang yang bertugas di bagian navigasi, mengatur arah haluan.
Jika ditilik dari unsur filosofisnya, Darwis menerangkan, “Tukang Onjai adalah gambaran seorang tokoh masyarakat, ulama atau pemangku adat. Yang bertugas memberi arahan, nasehat kepada orang yang memegang kendali agar tidak ke luar dari norma-norma. Itu nilai yang terkandung dalam Tukang Onjai,” kata Darwis. “Tukang Onjai memberi pedoman kepada Juru Mudi. Yang kerjanya menginstruksikan dengan kata: Kiri, kanan, dan lurus. Itu saja. Jadi dia selalu memberi arahan, nasehat kepada orang yang memegang kendali agar tidak keluar dari norma-norma,” ulangnya menegaskan.
Dukungan penuh
Pacu Jalur merupakan budaya, bagian dari kehidupan masyarakat Kuansing. Itu sebabnya, penduduk setempat begitu antusias agar setiap tahun Festival Pacu Jalur diselenggarakan.
Ternyata, belakangan, antusiasme
masyarakat itu disambut penuh para tokoh maupun pemimpin di sana. Mulai dari para tokoh masyarakat, budayawan, perangkat pemerintahan seperti Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Azhar Ali, terlebih Bupati Suhardiman Amby, umpamanya. Dan juga mendapat dukungan penuh dari salah satu putera terbaik asal Kuansing, yang kini duduk sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Riau, yaitu Mardianto Manan.
Antusiasme masyarakat terhadap Pacu Jalur, dapat dilihat dari pengalaman Mashuri yang diungkapkannya kepada wartawan, di Desa Kampung Baru, Kecamatan Sentajo Raya, Jumat (7/6-2024). Saat itu dia masih menjabat selaku Penjabat (Pj) Kepala Desa Kampung Baru.
Mashuri mengisahkan, hampir setiap hari warga, khususnya para pemuda datang ke kediamannya, menjelang beberapa waktu acara Pacu Jalur. Dia baru satu setengah bulan menjabat Kepala Desa. Warga terus mendesak Mashuri. “Kapan pembuatan jalur, Pak Kades?”
Jalur di Desa Kampung Baru memang sudah usang. Tidak bisa digunakan lagi. Mashuri menuturkan, kalau jalur yang lama diperbaiki, biayanya lebih besar daripada membuat yang baru. Kayunya sudah lapuk. Sudah sering ditambal.
Bagaimana Pacu Jalur sudah mengakar dalam kehidupan sosial masyarakat Kota Jalur, itu juga digambarkan Azhar.
Azhar mengemukakan, di Kabupaten Kuansing, desa yang berada di pinggir sungai, seluruhnya memiliki jalur.
“Karena jalur ini, marwah. Jadi kalau ada desa di pinggir sungai tidak memiliki jalur, maka orang menganggap desa tersebut ‘tidak ada laki-laki.’ Maka tak ada desa yang mau disebut desa yang ‘tak memiliki laki-laki,'” ujar Azhar.
Dia kemudian bercerita, demi membuat jalur, bagaimana penduduk melakukan iuran. Ada yang menjual kelapa, beras, sayur dan lain-lain. “Yang penting, gotong royong,” ucapnya.
Kadis Pariwisata dan Kebudayaan itu menambahkan, dari 15 kecamatan di Kabupaten Kuansing, yang tak punya jalur 3 kecamatan. Yakni Kecamatan Singingi Hilir, Singingi dan Kecamatan Pucuk Rantau.
Mengapa para pemimpin dan budayawan di Kuansing begitu kuat dan komit mendukung budaya Pacu Jalur?
Selain memiliki political will (komitmen dari para pemangku kebijakan atau pengambil keputusan utama terkait solusi kebijakan atas masalah tertentu) yang kuat, yang pasti mereka juga merupakan pelaku dari budaya itu sendiri. Itu bisa disimak dari apa yang dialami Azhar maupun Suhardiman, untuk sekadar contoh.
Azhar, misalnya, mengisahkan pengalaman masa kecilnya.
“Saya dibawa orang tua ke kebun yang lokasinya di arah hulu, dengan menggunakan sampan. Ketika pulang membawa hasil panen, masyarakat berpacu. Siapa yang duluan sampai ke kampung dengan sampan, itu yang juara,” kata Azhar.
Dia melanjutkan, itulah sejarah dimulainya pacu jalur sebenarnya. “Maka ini terus berkembang. Masyarakat mulai mengadakan lomba-lomba yang sangat sederhana,” imbuhnya.
Sedangkan Suhardiman, bahkan terjun langsung sebagai pelaku pada Festival Pacu Jalur. Dia ikut langsung lomba pada 2023 lalu, yang video-nya viral di media sosial (Medsos). Bagi mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Riau itu keikutsertaannya bukan persoalan kalah-menang. Tapi memberi semangat agar masyarakat tetap mempertahankan local wisdom.
Pada Festival Pacu Jalur tersebut, Bupati Suhardiman Amby mengambil posisi sebagai Timbo Ruang pada salah satu jalur yang ikut bertanding.
Posisi sebagai Timbo Ruang, hal itu merupakan cermin dari
nilai-nilai filosofis pada Pacu Jalur itu sendiri, sebagaimana dikemukakan Darwis. Yakni merupakan seorang pemimpin yang mampu memberi semangat dan mengayomi masyarakat.
Seperti yang terlihat pada video, saat tengah berada di arena pacu, di Sungai Kuantan, dalam keadaan duduk di sampan Suhardiman meliuk-liukkan tubuhnya dengan gerakan tertentu, sambil mengempas-empaskan pelepah pinang ke permukaan sungai, lalu secara tiba-tiba memercikkan air yang masih menempel di pelepah (masyarakat setempat menyebutnya upia) ke arah para pendayung sampan.
Lantas, apa artinya seperti yang dilakukan Bupati itu? Sebagaimana penjelasan Darwis, selaku pemimpin, Bupati memberikan semangat kepada para anak pacu, yang mendayung sampan.
Asmara Ratu–Sultan
Setiap kali sejarah Pacu Jalur dibahas, Ratu Belanda bernama Wilhelmina, pasti ikut tercatat. Lalu, setiap nama Ratu Netherland yang cantik itu diingat, maka akan terbayang kisah asmaranya dengan si pemuda tampan Sultan Syarif Kasim II.
Belanda menduduki Kuansing pada 1905. Sebelum Jepang menguasai Hindia Belanda, Kegiatan Pacu Jalur di Kuansing diadakan untuk memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Ratu Wilhelmina.
Kegiatan Pacu Jalur pernah dilaksanakan dalam rangka HUT Wilhelmina itu dibenarkan oleh berbagai tokoh di Kuansing, termasuk Bupati dan Kadisparbud. Bahkan pada perlombaan, ada peserta yang menggunakan nama jalur “Sang Ratu Helmina.”
Apakah keberadaan jalur bernama “Sang Ratu Helmina” ada kaitannya dengan Wilhelmina? “Ada,” sebut Khairun kepada dataprosa.com, salah satu pembuat jalur terkenal di Kuansing, di sela-sela saat dia tengah menjelaskan kepada wartawan, proses pembuatan jalur, di Kuansing, Jumat (7/6-2024). Dia mengutarakan, dirinya baru saja menukangi “Sang Ratu Helmina.”
Tak hanya itu. Bahkan di lingkungan penduduk setempat, beredar rumor sejarah yang menyatakan bahwa Ratu Wilhelmina pernah hadir menyaksikan salah satu perlombaan Pacu Jalur dalam rangka perayaan HUT Sang Ratu. Salah satu warga setempat yang menyatakan demikian, yaitu Yusman.
Menurut Yusman kepada dataprosa.com, Ratu Wilhelmina saat itu ada di Kuansing. Yusman mengetahuinya melalui “cerita-cerita” warga.
Wilhelmina Helena Pauline Marie van Orange-Nassau atau lebih dikenal Ratu Wilhelmina, lahir 31 Agustus 1880. Naik takhta di usia 10 tahun, yakni pada 1890, seterusnya menjadi Ratu Belanda hingga 1948.
Tapi begitu Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan 17 Agustus 1945, maka selanjutnya pelaksanaan Pacur Jalur diselenggarakan setiap bulan Agustus untuk memperingati HUT Kemerdekaan Republik Indonesia. Tidak lagi untuk merayakan HUT Ratu Wilhelmina.
Romantika asmara di antara Wilhelmina dengan Sultan Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syarifuddin atau yang dikenal dengan Sultan Syarif Kasim II, sudah viral di pelbagai media online atau pun Medsos.
Dilansir dari berbagai sumber, panah asmara menancap di hati cewek cantik dari Netherland itu saat Wilhelmina bertemu Syarif Kasim II untuk pertama kali ketika berkunjung ke Istana Siak Sri Indrapura.
Jika diamati foto-foto yang ada di Istana Siak Sri Indrapura, Sultan yang berdarah Arab-Melayu itu masuk jajaran pria ganteng, cerdas dan flamboyan.
Hati wanita mana yang tidak klepek, klepek, klepek…melihat ketampanan putera dari Sultan Syarif Hasyim itu. Tak terkecuali seorang Ratu sekalipun! Orang nomor 1 di Belanda di zamannya.
Saat Sultan Syarif Kasim naik takhta, uisianya baru 21 tahun. Wilhelmina langsung kepincut dengan brondong kelahiran 1 Desember 1893 itu. Ibu dari Ratu Juliana tak peduli dengan usia yang terpaut 13 tahun. Begitu Sultan yang Sarjana Hukum Tata Negara itu menduduki tampuk kerajaan, Wilhelmina sudah berusia 34 tahun.
Selanjutnya?
Biasalah. Yang namanya cewek di muka bumi ini, di segala zaman sekalipun, kalau sudah ngebet sama pria idaman, pintar bikin strategi biar bisa ketemu lagi.
Maka puteri dari Ratu Emma itu pun kemudian mengundang Sultan Syarif Kasim secara pribadi untuk menghadiri penobatan dirinya. Gayung pun bersambut.
Namanya saja Sultan. Bukan main-main. Berangkat menuju “wajib kunjung pacar” (Wakuncar), bukanlah persoalan sederhana di kala itu. Dari Siak Sri Indrapura ke Belanda, Benua Eropa pula.
Bertolak dari Istana Asserayah Hasyimiah atau Istana Matahari Timur di Siak Sri Indrapura, Sultan menuju pelabuhan kerajaan yang letaknya hanya beberapa meter di hadapan Istana. Dengan menggunakan kapal kerajaan, berangkat “apel” ke tempat cewek di Holland pun dimulai dari situ. Bisa dibayangkan, berapa lama waktu tempuh dan biaya yang dikeluarkan.
Begitu sampai di Istana Noordeinde, Belanda, gebetan Sang Ratu pun disambut dengan perlakuan istimewa. Bisa jadi, jantung Wilhelmina pun nyut-nyutan saat saling tatap, menyambut si cowok brondong, kala itu.
Rupa-rupanya, Wakuncar Sultan ke Istana Belanda itu membuat hati Wilhelmina belum puas. Sang Ratu ngotot, menginginkan lebih, agar hubungan mereka berlanjut. Apa akal?
Ratu Wilhelmina pun kembali mengundang Sultan. Kali ini, alasannya, untuk menghadiri perayaan pesta ulang tahun dirinya. Lagi, Sultan Syarif Kasim manut-manut saja.
Sultan juga mendapat sambutan yang sangat meriah dan hangat pada momen tersebut. Sang Ratu yang sudah mabuk kepayang gara-gara asmara, lantas mengambil inisiatif mendesak pacar brondongnya itu membuat patung diri Sultan untuk disimpan di istana, Belanda.
Sebaliknya, Ratu juga mengirim patung dirinya untuk disimpan di Istana Siak Sri Indrapura sebagai kenang-kenangan. Tak hanya itu, keduanya acap kali saling tukar kado.
Sayangnya, kisah-kasih dua anak manusia antarbenua itu berujung sad ending. Sultan Syarif Kasim pelan-pelan tapi pasti, mengundurkan diri dari arena percintaan. Karena di antara keduanya, ada perbedaan yang sangat signifikan. Perbedaan budaya dan agama. Sebagai Muslim yang taat, Sultan juga diketahui sangat mencintai rakyatnya.
Begitu juga dengan Wilhelmina, yang konsisten dengan agama yang dianutnya: Kristen, Reformed Protestan.
Sifat konsisten Wilhelmina terhadap agama yang dipercayainya, bisa diketahui dari catatan sejarah. Wilhelmina sempat kelimpungan mencari jodoh untuk puteri kesayangannya: Juliana yang kelak menggantikan Wilhelmina sebagai Ratu. Sebagai wanita religius, Wilhelmina menginginkan Juliana menikah dengan pemuda keturunan bangsawan yang seiman dengannya, Kristen Protestan.
Sebagian besar waktu Wilhelmina selama 1930-an, jadi Mak Comblang mencari suami yang cocok untuk Juliana. Dia sempat mengalami kesulitan karena belum menemukan pria untuk puterinya itu yang sesuai dengan keinginannya. Pernah ada yang datang dari Inggris dan Swedia, sebagai contoh, tapi ditolak Wilhelmina.
Akhirnya, jodoh memang tak ke mana juga. Ibu dan anak itu menemukan Pangeran Bernhard dari Lippe-Biesterfeld, Jerman. Wilhelmina meminta pengacaranya menyusun perjanjian pranikah yang sangat detil, merinci dengan tepat apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan oleh calon menantu laki-lakinya.
Kisah asmara Sultan Syarif Kasim II–Ratu Wilhelmina ini sepertinya tak kalah legendaris dengan percintaan Kaisar Mughal Shāh Jahān dari India dengan Mumtaz Mahal, isterinya asal Persia, yang melahirkan bangunan bersejarah berupa Mausoleum Taj Mahal, di Agra, India.
Memori asmara yang dilakonkan Sultan Syarif Kasim II dan Kaisar Mughal Shāh Jahān dan pasangan masing-masing merupakan bentuk percintaan yang realistis. Bukan jenis percintaan ecek-ecek (meminjam bahasa gaul dari Medan, Sumatera Utara) yang fiktif seperti drama Romeo and Juliet atau Hamlet yang keduanya karya Pujangga tersohor asal Inggris, William Shakespeare.
Tak terbayangkan, bagaimana dengan kedatangan Wilhelmina ke Istana Asserayyah Hasyimiah, kediaman Sultan Syarif Kasim. Lalu, ketika kekasih Sultan kembali ke Netherland, tentulah melalui Sungai Siak.
Mengantarkan Wilhelmina pulang ke “kampung halamannya,” Sultan mendampingi hingga ke kapal yang berada di dermaga yang letaknya di depan Istana Siak. Kapal pun bergerak perlahan, menjauhi Istana. Dari atas kapal, Ratu Belanda berdiri melambai-lambaikan tangannya yang juga dibalas Sultan dengan gerakan yang sama.
Sebelum Wilhelmina menghilang dari pandangan mata, mungkin Sang Ratu sempat bergumam: “Ik hou van je, mijn geliefde” (aku cinta kamu, Sayang-ku).
Dari depan Istana, Sultan pun berbisik: “Iyo, Uni. Aku juga sayang Uni” (Iya, Kakak. Aku juga sayang Kakak).
Begitu sang kekasih tak terlihat lagi, Sultan pun masuk ke Istana. Di lantai 1, di salah satu ruangan terdapat gramofon, pemutar piringan hitam merek Komet, buatan Jerman yang kini tinggal satu-satunya yang ada di dunia. Benda langka ini peninggalan sang ayah, Sultan Siak ke-11.
Di dekat gramofon terdapat beberapa piringan hitam berisi lagu-lagu klasik karya para komponis legendaris sepanjang masa. Di antaranya karya Ludwig van Beethoven, Wolfgang Amadeus Mozart, dan Johann Strauss II.
Seandainya Sultan hidup di abad kini, tentu bukan lagu-lagu karya orang-orang beken itu yang diputarnya. Sambil duduk manis, membayangkan kisah asmaranya dengan Sang Ratu bernama Helmina, bisa jadi Sultan memilih lagu berjudul “Isabella,” karya Amy Search, asal Malaysia. Mungkin dalam benaknya, judul lagu dirubah menjadi “Wilhelmina.”
Isabella (Wilhelmina) adalah kisah cinta dua dunia
Mengapa kita berjumpa namun akhirnya terpisah?
Siang jadi hilang ditelan kegelapan malam
Alam yang terpisah melenyapkan sebuah kisah…dan seterusnya.
Membuka latar belakang sejarah Pacu Jalur Kuansing, tak terlepas dari eksistensi Ratu Wilhelmina, memang. Maka kisah romantika asmara Sultan Syarif Kasim II–Ratu Wilhelmina, menjadi tak terhindarkan untuk dikenang. ramses
1,929 kali dilihat, 18 kali dilihat hari ini