Pagi–pagi sekira pukul delapan, Klaranda sudah berada di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Antah Berantah, yang berlokasi di Kota Pekantua, ibukota Provinsi Antah Berantah.

            Di kantin yang ada di lokasi komplek gedung DPRD itu Klaranda duduk bersama enam warga asal Kabupaten Bukit Timur. Keenam warga ini berniat menemui Slamet Rianto anggota DPRD dari daerah pemilihan (Dapil) Kabupaten Bukit Timur.

            Belum ada satu pun anggota dewan yang muncul di sana.

            Klaranda meneguk kopi yang baru dipesannya. Wartawati media online universallirik.com itu kemudian dengan santainya menyulut rokoknya. Wanita asal Pekanbaru ini tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya. Beberapa pasang mata, memang, sempat melirik ke arah Klaranda.

            “Belum juga bertemu dengan Pak Slamet Rianto?” Klara, sapaan akrab Klaranda, bertanya kepada warga asal Bukit Timur itu. Sebelumnya, Klara sudah pernah bertemu dengan mereka.

            “Belum. Kami ingin mengingatkan kembali janjinya Pak Slamet Rianto pada saat kampanye dulu menjelang pemilihan legislatif, sebelum dia terpilih menjadi anggota dewan seperti sekarang ini.” Rudy, yang dituakan di antara keenam warga, langsung menjawab pertanyaan Klara.

            Klara menatap wajah Rudy dalam-dalam.

            “Dia berjanji akan memperbaiki jalan di desa kami,” tambah Rudy lagi.

            “E… makudnya…,” tiba-tiba salah seorang di antaranya, bernama Suganda berupaya melengkapi ucapan Rudy, “Maksudnya, di desa kami ada jalan desa sepanjang dua ratus meter kondisinya sudah sangat parah, tidak bisa lagi dilalui kendaraan umum. Sehingga hasil kebun kami terhalang untuk diangkut ke pasar, ke desa tetangga yang beda kabupaten. Transportasi anak sekolah pun terganggu. Pak Slamet waktu itu berjanji akan mengupayakan agar jalan itu diperbaiki,” ucap Suganda, rekan Rudy itu.

            “Ooo, begitu,” Klaranda menanggapi warga asal Bukit Timur itu.

            Klaranda kemudian lebih medekatkan dirinya di tengah warga Bukit Timur yang sangat ingin berjumpa dengan Slamet. Wartawati ini berupaya menggali informasi lebih dalam menyangkut problema yang menjadi tuntutan warga tersebut dengan mengajak mereka berbicara panjang lebar. 

            Salah seorang rekan Rudy sempat keluar dari kantin beberapa menit untuk memastikan apakah  Slamet Rianto sudah muncul apa belum. Ternyata, mekipun jam sudah menunjukkan pukul 11 menjelang siang, anggota dewan yang ditunggu-tunggu itu tidak juga kelihatan. Sebelumnya, warga sudah berkali-kali menghubungi Slamet lewat hanphone tapi tidak diangkat, bahkan kadang tidak aktif.

            Warga Bukit Timur tadi juga sudah beberapa kali datang ke gedung DPRD Provinsi Antah Berantah berniat menemui Slamet Rianto, tapi sia-sia, seperti yang terjadi hari ini, sebagaimana yang disaksikan Klaranda.           

            Begitu jam menunjukkan pukul 12 siang lewat beberapa menit, Klaranda pun yakin Slamet tak bakal muncul. Akhirnya si Rambut Panjang ini meninggalkan gedung lembaga legislatif itu, menuju Posko, ke warung Sonya.

            Usai menyelesaikan makan siangnya, di warung Sonya, itu Klara langsung meneguk kopi, diikuti dengan sulutan-sulutan rokok. Sejenak tangannya mengibaskan rambutnya yang panjang terurai hingga pinggulnya. Lalu, kembali dia menyulut rokoknya, dan mengeluarkan asap rokok itu melalui mulut dan hidung. Wartawati ini merasakan nikmat yang luar biasa.    

            “Kasihan juga warga Bukit Timur itu. Sama sekali tak dipedulikan sama si Slamet Rianto,” ujar Klara, di warung Sonya itu. Rekan-rekan Klara yang hadir di situ mengarahkan pandangannya ke si Wartawati. 

            “Ooo. Jadi orang Bukit Timur itu belum juga bertemu dengan si Slamet?” Bramantara langsung menanggapi Klara. Bram, biasa disapa begitu, sedikit banyaknya sudah tahu tuntutan warga Bukit Timur itu. Bram memang pernah tinggal di sana.

            Klara mengamati mimik wajah Bram dalam-dalam.

            “Hmm. Kalau menurutku, wajar-wajar saja si Slamet tidak menanggapi apa yang diinginkan konstituennya. Dia kan tidak harus merasa berkewajiban membantu warganya,” ujar Bram.

            “Huss!” ucap Klara dengan mata mendelik. Dia memandang Bram tajam.

            Seluruh rekan Klara yang ada di warung Sonya mengarahkan mata mereka ke arah Bram.

            “Apa maksud kata-katamu itu, Bram?” sambung Klara.

            Dari kursi lainnya, Prayudha wartawan mingguan Antah Berantah Pos asik memperhatikan omongan Klara dan Bram.

          Munaf juga hadir di situ. Saat mata Munaf asik memandangi area dada Sonya, mata wartawan media online fatamorgana.com warga Antah Berantah ini tertangkap basah oleh mata Sonya. Tapi Sonya santai saja. Berlagak sibuk memberes-bereskan dagangannya. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Sonya sudah tahu persis kelakuan mata yang nakal itu. 

            Kali ini Bram memandang Klara.

“Kau Klara, baru memandang dari satu sisi soal tuntutan warga Bukit Timur itu. Saya sebagai orang  yang pernah bermukim di sana, tahu tentang kondisi orang-orang sana,” balas Bram. 

           “Kenapa rupanya dengan orang Bukit Timur?” Klara langsung memotong kata-kata Bram. Dia penasaran. 

            “Kau ingat saat pemilihan legislatif dulu? Sebelum Slamet terpilih menjadi anggota dewan?” tanya Bram.

            “Ya! Ingat. Lalu?” jawab Klara.

            “Sebelum hari H pemilihan di tempat pemungutan suara (TPS, pen), Slamet sempat bagi-bagi sembako kepada warga Bukit Timur. Lantas, pagi-pagi subuh sebelum nyoblos, terjadi ‘serangan fajar’ oleh kakitangan Slamet, membagi-bagikan uang Rp100 ribu per orang kepada warga yang puya hak suara,” tutur  Bram.

            Wartawati si Rambut Panjang menatap wajah Bram dengan penuh tanda tanya.

            “Kamu jangan sembarangan ngomong, Bram. Kamu punya bukti?” ancam Klara.

            “He-he-he-he. Kalau soal bukti, aku tidak punya. Yang jelas, keluargaku yang bermukim di sana, bukan satu dua orang. Banyak. Mereka yang bilang sama aku bahwa mereka dapat sembako dan duit dari salah seorang Caleg,” jawab Bram berbau sindiran. 

            “Lalu, urusan bagi-bagi sembako kan tidak ada hubungannya dengan membantu masyarakat yang mengalami kesulitan seperti yang dialami warga Bukit Timur itu,” ucap Klara.

            “Wah, jelas ada, dong,” balas Bram.

            Tiba-tiba Rakarada yang dari tadi diam, angkat bicara

            “Wow! Begitu rupanya kelakuan anggota dewan di Negeri Antah Berantah. Caleg nyogok-nyogok rakyat. Itu memalukan. Kau tahu, Bram, di negeri kami, Provinsi Riau, Indonesia tidak ada anggota dewan seperti itu. Kami orang beradab, jujur, bukan pembohong,” timpal Rakarada.

            Mendadak Bram tertawa mendengar ocehan Rakarada.

            “Ka-ka-ka-ka-ka-ka-ka-ka ka-ka-ka-ka. Ka-ka-ka-ka-ka-ka.”

           “Huss! Ketawa, kamu. Kamu belum menjawab pertanyaanku, Bram,” tukas Klara.

           “O, iya. Begini, Klara. Si Slamet Rianto itu kan sudah memberikan sembako dan uang kepada warga. Itu artinya, Slamet kan membeli suara. Jelas, dong, tidak ada kewajiban bagi Slamet untuk memenuhi keinginan rakyat. Dan kalau rakyat yang menerima sembako dan duit itu mendesak-desak si Slamet, itu namanya tak tahu diri. Berani mendesak-desak orang, padahal sudah menerima duit. Bahasa kasarnya, si Caleg itu sudah menyogok rakyat,” ucap Bram.

            Mendadak Klara terdiam mendengar penjelasan Bram. Tak hanya Klara, rekan-rekan lainnya tak mampu buka suara. Suasana hening beberapa saat.

           Tapi akhirnya Rakarada buka suara. Wartawan asal Pekanbaru yang bertugas di Antah Berantah ini pun mencoba menetralisir suasana. Dia memandangi satu per satu rekan-rekannya warga Antah Berantah.

            “Menyogok rakyat untuk menduduki kursi di parlemen, itu sudah tidak benar. Moral rakyat maupun politisi di Antah Berantah memang sudah perlu diubah. Saya sarankan, para tokoh masyarakat Antah Berantah, termasuk para politisi, ada baiknya datang ke Provinsi Riau. Mengikuti berbagai seminar atau pun pelatihan, agar moral mereka bisa menjadi lebih baik. Sehingga sogok-menyogok rakyat bisa diminimalisir. Untuk kemudian bisa menjadi anggota dewan yang diandalkan konstituennya, seperti anggota DPRD di Provinsi Riau,” papar Rakarada.

           Mendengar uraian Rakarada, penyakit Bram muncul lagi. Tawanya meledak.

           “Ka-ka-ka-ka-ka-ka. Ka-ka-ka-ka-ka-ka-ka. Ka-ka-ka-ka-ka-ka.”

           “Huss!” Klara membentak Bram, kembali dengan mata melotot. ***

Dikutip dari Tabloid BOS (Bacaan Orang Sukes) edisi 322

2,206 kali dilihat, 3 kali dilihat hari ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_IDBahasa Indonesia